Rabu, 20 November 2013

Seribu Cara






Dalam hitungan hari, mungkin tidak sampai 150 hari lagi, gendang pesta akbar yang namanya Pemilu bakal ditabuh. Dengan demikian, ribuan bahkan jutaan para tokoh politik, mulai dari politikus picisan, politikus kacangan sampai yang menyebut dirinya politikus ulung, akan berlomba-lomba merengek-rengek kepada yang namanya rakyat sebagai  peserta pesta akbar tersebut. Tidak lain hal itu dilakukan untuk mendapat dukungan dan simpati yang pada akhirnya berhasil duduk di kursi empuk legislatif
   Agar sukses di kursi empuk itu, setiap waktu bendera partai berkibar tak lepas dari genggaman tangan. Tidak jarang mereka mengorbankan segala harta benda yang dimiliki, termasuk harga diri. Dengan berbagai dalih dan janji manis di hadapan para calon mata pilih yang bernama rakyat, para aktorpun aktif bergerilya sampai ke sudut-sudut kampung. Tak peduli panas, hujan, siang bahkan sampai larut malam. Yang biasanya tak hadir dalam takziyah kematian, para tokoh hadir duluan. Yang biasanya tak hadir dalam acara pengajian, para tokoh hadir duluan, bahkan duduk di kursi paling depan, yang justru menjadi bahan pembicaraan para simpatisan. Dalam meraih gerakan simpati itu, dalam saku mereka berisi lembaran uang recehan . Tak lupa merekapun membawa belasan bungkus rokok berbagai merek kesukaan simpatisan dalam kresek warna hitam dengan alasan sebagai teman ngobrol.
    "Kalau ada maunya seperti kucing kurap sampai jalannyapu membungkuk-bungkuk dan sedikit senyum yang dipaksakan supaya rakyat simpati. Tapi kalau sudah jadi, jangankan tertawa, senyumpun ogah" kata salah seorang tetangga saya
    Gambaran diatas sebenarnya bukan hal baru dan sudah menjadi rahasia umum, bahkan sudah berlangsung sejak negara ini morat-marit sejak puluhan tahun lalu. Untuk meraih kursi empuk itu, adegan saling caci antar parpol sudah hal biasa, merasa partainya paling baik, mengumbar janji manis bahkan bila perlu menghujat mereka yang masih duduk di dewan. Hal itu dilakukan tak lain dan tak bukan semata-mata untuk mengelabuhi jutaan rakyat yang akan dijadikan sebagai tumbal.

    Kendati pemilu sudah berlangsung berulang-ulang, memang tingkah polah para aktor politik mulai dari sudut kampung sampai ibukota metropolitan hanya benda-benda tipis. Para calon biasanya hanya memberi janji janji manis. Kalaupun mereka nantinya berhasil menjadi anggota dewan yang terhormat, rakyat tetap akan menelan pil maha pahit. Mereka tidak lagi memikirkan nasib rakyat, tidak lagi takziyah, tidak lagi menghadiri pengajian, tidak lagi membagi-bagikan uang recehan, tidak lagi mengantongi bungkusan rokok sebagai teman ngobrol, dan tidak lagi keliling ke sudut-sudut kampung. Jangankan tertawa, senyumpun tidak.
Yang ada di benak mereka adalah memikirkan seribu cara untuk memperkaya diri tanpa peduli lagi halal haram, memberlakukan peraturan yang akan menjerat leher rakyat atau bahkan mencari peluang untuk menambah koleksi istri di setiap kampung.
    Rakyat tetaplah rakyat yang hanya dibutuhkan menjelang dan saat pemberian suara di bilik-bilik suara. Seusai pemilu rakyat terpaksa di buang dan dicampakkan karena suara mereka telah terwakilkan oleh wakil rakyat. Meskipun kesehariannya wakil rakyat tidak pernah mewakili rakyat, tidak pernah memperjuangkan aspirasi rakyat, para wakil rakyat tetap mengatakan ini semua demi kepentingan rakyat.
Ini artinya janji-janji manis yang ditebar saat kampanye itu hanyalah jalan untuk melumpuhkan lawan agar sukses menjadi anggota dewan. Hasilnyapun dapat ditebak, rakyat makin tercekik harga kebutuhan melangit menjerat leher. Sementara mereka yang berhasil menjadi anggota dewan yang terhormat tetap melakukan tindakan serupa, aksi balas dendam. akhirnya rakyat akan hidup segan mati tak mau
(Sumber: Lampos, 06 Mei 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar